Sketsa Tentang Pemikiran dan Karya Ibnu Khaldun

PENDAHULUAN

Muqaddimah karya Ibnu Khaldun pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia pada tahun 1986, walaupun sebelum itu ada beberapa referensi mengenai ibnu khaldun. Di terjemahkannya muqaddimah ini kedalam bahasa indonesia, telah memberikan angin segar bagi para intelektual di indonesia. Sehingga dengan keberadan akan menambah koleksi khazanah keilmuan di indonesia karya pemikiran islam klasiik dalam khazanahnya intelektual di Indonesia.

Muqaddimah karya ibnu khaldun ini membahas tema-tema yang berkaitan dengan beberapa bidang keiilmuan seperti sejarah, politik, sosiologi, historiologi, autobioigrafi, sastra, sejarah, pendidikan dalam ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, dalam bab ini penulis berupaya untuk memetakan pemikiran ibn khaldun dalam muqaddimah-nya ini, namun disini saya akan memfokuskannya pada permasalahan tema-tema politik islam.

Sebelumnya saya akan membahas secara singkat biografi ibnu khaldun. Kemudian akan digambarkan sekilas mengenai sketsa tentang pemikiran ibnu khaldun melalui muqaddimah ini. Setelah itu kajian ini memfokuskan untuk menggambarkan pemikiran ibnu khaldun sekitar masalah politik, dan tema-tema politik islam.

BIOGRAFI IBNU KHALDUN

Ibnu Khaldun sejatinya pemikir dan ulama peletak dasar ilmu sosiologi dan politik melalui karya magnum opusnya, al muqaddimah. Ia lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan namaAbdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abdurrahman bin Khaldun, dan lebih dikenal dengan ibnu khaldun.[1]

Ibnu khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan politik.[2] Nenek moyangnya berasal dari hadaramaut yang kemudian bermigrasi ke sevilla (Spanyol) pada abad ke-8, keluarganya menduduki posisi tinggi dalam politik Spanyol, sampai akhirnya hijrah ke maroko beberapa tahun sebelum sevilla jatuh ketangan penguasa Kristen pada tahun 1248 M. Setelah itu mereka menetap di Tunisia, di kota ini mereka dihormati pihak istana dan diberi tanah milik dinasti Hafsiah.[3] Latar belakang keluarga dari kelas atas ini rupanya menjadi salah satu factor yang kemudian mewarnai karir hidup Ibnu Khaldun dalam politik sebelum terjun sepenuhnya di dunia ke-ilmuan.

Pada masa hidupnya ini merupakan masa pengujung zaman pertengahan dan permulaan zaman renaissance. Perubahan krusial historis menanadai abad ini, baik dalam bidang politik maupun pemikiran. Di eropah zaman merupakan zaman tumbangnya cikal bakal renaissance. Sedangkan di timur (islam) periode ini sedang berlangsung suatu fase kemunduran dan disintegrasi.[4]

Di tengah evolusi peradaban ini, khaldun pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu khaldun merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual.

Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah ibnu khaldun.[5] Muqaddimah ini selesai ditulis oleh khaldun dalam waktu selama lima bulan, dan berakhir pada pertengahan 779 H/ November 1377 M. hal ini ia ungkapkan dalam penutupan muqaddimah-nya:

Saya selesaikan komposisi dan naskah dari pasal yang pertama ini, sebelum revisi dan koreksi, selama lima bulan, berakhir pada pertengahan tahun 779 (November 1377). Lalu, saya merevisi dan mengoreksi buku ini, dan saya tambahkan kepadanya sejarah berbagai macam bangsa, sebagaimana telah saya sebutkan dan saya niatkan untuk melakukannya pada permulaan karya itu.[6]

Setelah itu khaldun menulis kitab keduanya yang popopuler dengan nama Kitabul ‘ibar wa dil- wa nul mubrada’ wal khabar, fil ayyan-mil ‘arab wal ‘ajam wal barbar, wa man la a-sharahum min dzawi s-sulthaan al-akbar,[7] atau dikenal dengan kitab alam semesta.

Kemudian, perselisihan politik yang lagi pada zamanya memaksanya pindah ke kairo (1382M), kota ini sangat mengesankan ibnu khaldun: ia melihat mamluk sebagai juru selamat islam kesultanan mereka sebagai “negara islam paling penting” (Ayalon, 1977 VII:327). Disana ia menjadi ahli hukum islam yang terkenal dan dihormati cukup baik sebagai hakim kepala mazhab maliki (1384 M).[8] Pada masa ini ia memperbaiki dan merevisi muqaddimahnya sepanjang hidupnya.

Pada tanggal 26 Ramadhan, tahun 808 H, yang bertepatan dengan tanggal 16 Maret 1406 M, tiba-tiba ibnu khaldun wafat dalam umurnya yang ketujuh puluh enam (76 Tahun).[9] Sepeninggal Khaldun, banyak para sarjana-sarjana yang kagum pada pemikirannya, baik dari dunia timur maupun dunia barat. Tidak hanya itu, sebagai bukti darinya mereka mengadakan simposium tentang Ibnu Khaldun dan membangun sebuah monumuen atau patung ibnu khaldun. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti, dimana ibnu khaldun di makamkan.

SKETSA TENTANG MUQADDIMAH KARYA IBNU KHALDUN

Ibnu khaldun termasuk tokoh yang paling banyak disebut dalam sejarah intelektual. Reputasinya ini sangat dikagumi oleh kalangan intelektual baik di timur mauipun dibarat, kalangan muslim maupun non muslim. Robert flint menegaskan: “Hobbes, Loche dan Rousseau bukanlah tandingan ibnu khaldun. Sehingga, agak sulit menempatkan posisi ibnu khaldun, dalam klasifikasi pemikiran islam, karena keluasaan penguasanya terhadap berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa muqaddimah merupakan karya terbesar yang pernah diciptakan oleh akal manusia dimanapun.[10]

Kitab yang kita kenal sekarang dengan nama muqaddimah ibnu khaldun merupakan jilid pertama dari ketujuh jilid kitab sejarah alam semesta, Kitabul ‘ibar wa dil- wa nul mubrada’ wal khabar, fil ayyan-mil ‘arab wal ‘ajam wal barbar, wa man la a-sharahum min dzawi s-sulthaan al-akbar, yang diterbitkan oleh penerbit balaq, tahun 1868 M.[11] Ibnu khaldu lebih dikenal karena muqqadimahnya, bukan karena kitab Al Ibarnya. Mengapa demikian?, karena seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah termuat dalam muqaddimah-nya. Sedangkan kitab al ibar adalah bukti empiris-historis dari teori yang telah dikembangkan itu.[12]

Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk membuat sketsa dari Muqaddimah ini. Dimana isi muqaddimah ini terdiri dari tiga bagian, ketiga bagian itu ialah;

Pertama, khaldun mengawalinya dengan menyebut pujian kepada Allah SWT, serta salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia mengkritisi pembahasan para sejarawan seperti al Mas’ud, abu Hayyan dan ibnu Rifqi. Karena latar belakang inilah yang menjadi alasan ia mengarang kitab al ibar, sambil menerangkan metode dan pembagiannya, seperti yang diungkapkannya;

Ketika saya membaca karya para sarjana, dan menyelidiki kedalaman yang dikandung oleh hari-hari kemarin dan kini, saya memukul-mukul diri sendiri. Meski tidak banyak menulis, saya mencoba sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Dengan demikian, kemudian, saya karang sebuah buku tentang sejarah. De­ngan buku ini saya berusaha menyingkap tabir kondisi yang tum-buh dan berasal dari generasi yang beragam. Dalam usaha mengemukakan fakta historis dan refleksinya secara metodik, saya membagi buku itu ke dalam beberapa bab." Saya jelaskan di dalamnya, bagaimana dan mengapa negara dan peradaban ('umran) tumbuh. Buku itu saya tulis berdasarkan fakta-fakta sejarah, tentang bang-sa-bangsa yang memakmurkan dan memenuhi berbagai daerah dan kota-kota Maghribi. juga tentang negara-negara yang berumur pan-jang atau berumur pendek, termasuk raja-raja dan sekutu-sekutu yang telah mendahului mereka. Mereka adalah dua generasi, yaitu orang-orang Arab, dan orang-orang Barbar. Mereka adalah dua bangsa (jail) yang terkenal tinggal di Maghribi dalam waktu yang sangat lama sehingga hampir tak terpikirkan ada bangsa selain me­reka yang tinggal mendiami Maghribi (Marokko)[13]

Kemudian ia menulis bahwasanya buku ini dihadiahkan kepada amirul mukminin Abu Fariz Abdul Aziz (sultan magribi jauh, 796-799 H). naskah yang dimaksud adalah naskah yang ditulis di mesir, dan diserahkan pada sultan tersebut pada tahun 799. Sedangakan naskah yang pertama yang ditulis pertama kali, di hadiahkan kepada sultan abul ahmad ibn abi abdilah al hafsi, sultan Tunisia.[14]

Kedua, pendahuluan tentang manfaat bersar histografi atau keutamaan sejarah, perngertian segala variasi histografi. Serta ulasan sepintas kesalahan yang dilakukan para sejarawan.[15]

Ketiga, bagian ini berjudul “kitab pertama”[16] yang membahas tentang peradaban manusia pada umumnya. Peradaban masyarakat pengembara (Badui), suku yang berpindah-pindah dan golongan manusia liar. Negara secara umum, raja, khalifah dan tingkatan-tingkatan kesultanan. Negara-negara, kota-kota dan seluruh peradaban. Penghidupan dengan segala seginya, ilmu pengetahuan dengan segala macamnya.[17] Bagian ini merupakan bagian pokok dan paling penting dibandingkan bagian lainnya, dimana bagian ini terdiri dari kata pengantar dan enam pembahasan pokok.[18]

Diantara keenam pokok pembahasan yang dibicarakan dalam bagian ini terdiri dari;[19]

1) Tentang peradaban umat manusia secara umum, corak dan pembagiannya menurut ilmu bumi.

2) Tentang peradaban padang pasir (masyarakat pengemba-ra), kabilah dan igsa pengembara. Pokok pembahasan ini terdiri dari 29 pembahasan, dimana 12 bab membahasa tentang perdaban orang badui, sedangkan sisanya menyinggung mengenai solidaritas sosial dari orang badui

3) Tentang negara-negara, khilafah, kekuasaan raja, dan pembicaraan tentang tingkatan pemerintahan. Pokok pembahasan ini terdiri dari 54 pembahasan, dimana pembahasan disini didonominasi oleh pembahasan mengenai sosio-politik.

4) Tentang peradaban orang-orang penetap, kota-kota, dan provinsi-provinsi. Pokok pembahasan ini terdiri dari 22 pembahasan, dimana dalam pembahasan disini membahas seputar ekonomi, peradaban dan pembangunan kota serta prasarananya.

5) Tentang keahlian, mata pencarian, usaha-hidup (kasab) dengan segala aspeknya. Pokok pembahasan ini terdiri dari 33 pembahasan, dimana dalam pembahasan ini berbicara seputar permasalahan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat.

6) Tentang ilmu pengetahuan, cara memperoleh dan mempelajarinya. Pokok pembahasan ini terdiri dari 61 pembahasan, dimana pada bagian ini membahahas seputar ilmu serta metode-metodenya.

TEMA- TEMA POLITIK ISLAM DALAM MUQADDIMAH

Ibnu Khaldun adalah seorang yang cerdas dan memiliki wawasan yang luas. Buktinya, ia tidak hanya pemikir politik saja, melainkan juga seorang pemikir ekonomi, sejarah, pendidikan, sosiologi dan filsafat. Semua kajian keilmuannya itu ditulis dalam karya muqaddimah-nya.

Oleh karena itu, penulis akan menggambarkan pemikiran ibnu khaldun yang berkitan dengan tema-tema politik islam di dalam muqadimah-nya, diantaranya ialah;

A. Solidaritas Sosial (ashabiyah)

Manusia memiliki tabiat baik dan buruk, sehingga kejahatan adalah sifat yang paling dekat kepada manusia apabila dia gagal didalam memperbaiki kebiasanya dan jika agama tidak dipergunakan sebagai contoh untuk memperbaikinya.[20] Sifat ini menyebabkan manusia untuk saling menyerang satu sama lain, hanya yang memiliki ikatan solidaritas sosial yang mampu membendungnya

Solidaritas sosial hanya didapati pada golongan yang dihubungankan oleh pertalian darah atau pertalian lain yang mempunyai arti sama. Hal ini disebabkan karena pertalian darah mempunyai kekuatan mengikat pada kebanyakan umat manusia, yang membikin mereka ikut merasa tiap kesakitan yang menimpa kaumnya.[21]

Kuatnya garis pertalian darah ini dapat dilihat dari argumen khaldun; “Apabila tingkat kekeluargaan antara dua orang yang bantu membantu dekat sekali, maka jelaslah bahwa ikatan darah, sesuai dengan buktinya, yang membawa kepada solidaritas sosial yang sesungguhnya. Apabila tingkat kekluargaan itu jauh, maka ikatan darah itu sedikit lemah, tetapi sebagai gantinya timbulah perasaan kefamilian yang didasarkan kepada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan.” [22]

Tujuan terakhir solidaritas sosial adalah kedaulatan, sebabnya ialah solidaritas sosial itulah yang membikin orang menyatukan usaha untuk tujuan yang sama, mempertahankan diri dan menolak atau mengalahkan musuh.[23] Jika solidaritas sosial tersebut telah memperoleh kedaulatan atas rakyat dan golongannya, maka sesuai dengan wataknya, ia akan mencari solidaritas sosial golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Apabila suatu solidaritas sosial dapat mengelahkan solidaritas yang lain, keduanya akan berbaur dengan akrabnya, yang kalah memberikan dukungan tenaga kepada yang menang, dan kemudian secara berasam-sama menuntut tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan dan dominasi yang dimilikinya sebelumnya.[24]

B. Organisasi masyarakat atau peradaban

Setelah membahas historiografi dan kelemahan-kelemahananya, ibnu khaldun memulai bahasanya tentang kategori yang paling umum, yaitu asosiasi manusia atau peradaban. Peradaban merupakan suatu keniscayaan, karena “manusia adalah makhluk politik”. Artinya, ia tidak dapat bertahan tanpa organisasi sosial, yang disebut oleh para filusuf kota (polis).[25] Manusia sebagai individu saling bergantung satu sama lain untuk penghidupan mereka, sehingga menuntut adanya pembagian kerja.

Ibnu khaldun menjelaskan bahwa manusia manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, karena ia mempunyai ciri sendiri. Yaitu: (1) ilmu pengetahuan dan keahlian yang merupakan hasil pikiran; (2) Butuh kepada pengaruh yang sanggup mengendalikan, dan kepada kekuasaan yang kokoh, sebab tanpa hal itu eksistensinya tak bisa dimungkinkan; (3) Usaha manusia menciptakan penghidupan, dan perhatiannya untuk mem­peroleh penghidupan itu dengan berbagai cara. (4) Peradaban ('umran). Maksudnya, manusia senang mengambil tempat, dan bertempat tinggal, di kota-kota atau di dusun-dusun kecil tempat beramah tamah dengan kaum kerabat, serta tempat memenuhi segala kebutuhan manusia, sesuai dengan watak alami manusia yang senang bantu-membantu.[26] Peradaban ini ada yang berbentuk peradaban badui (padang pasir) dan ada yang berbentuk peradaban menetap

Oleh karena itu, organisasi masyarakat menjadi suatu keharusan bagi manusia (al-ijtitnaa1 dharuuriyyun II an-naw'i al-insaani). Tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak akan sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan makhluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini tentulah tidak akan terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban (al 'umra)

C. Kedaulatan

Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakataan seperti kita sebutkan diatas, dan ketika peradaban dunia telah menjadi kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka, karena permusuhan dan kezaliman adalah pula merupakan watak hewani yang dimiliki oleh manusia. Senjata yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan binatang tidaklah mencukupi bagi pertahanan terhadap serangan sesama manusia. Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar. Maka dengan sendirinya orang yang akan melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang di antara mereka sendiri. la harus menguasai mereka, dan mempunyai kekuatan dan wibawa melebihi mereka, sehingga tak seorang pun di antara mereka sanggup menyerang lainnya. Dan inilah yang dinamakan kekuasaan (mulk. Ar), atau kedaulatan.

Kedaulatan harus didirikan diatas dua fondasi. Pertama, kekuatan syawakah dan solidaritas sosial, ashabiyah, yaitu yang diungkapkan dengan tentara. Kedua, uang, maal, yang merupakan faktor pendukung kehidupan para tentara tersebut dan menyediakan seluruh struktur yang dibutuhkan oleh kedaulatan

D. Negara

Negara hanya dapat didirikan dan ditegakan dengan bantuan solidaritas sosial dan harus terdapat solidaritas sosial yang terbesar dan terpusat serta membawahi solidaritas sosial yang lebih kecil. Dari kukuatan solidaritas inilah kita dapat menentukan batas usia dari suatu daulah (Negara) dan proses keruntuhanya.

1. Usia suatu daulah (Negara)

Sebagaimana halnya dengan umur manusia, demikian jugalah dengan usia daulah. Lamanya itu dapat berbeda-beda sesuai dengan letak bintang dilangit.[27] secara umum dapatlah dikatakan bahwa jarang umur dinasti melampaui tiga keturunan, tiap keterunan dihitung umur yang biasa bagi seseorang, yaitu empat puluh tahun (40 Tahun).[28]

Gambaran dari ketiga fase (ketiga keturunan) ini ialah; fase pertama, generasi pertama masih tetap dalam kekerasan dan kebiadaban hidup pengembaraan dan watak-watak lain pengembara yang khas, serperti kehiduapan yang keras. Oleh karena itu pada fase ini kekuataan solidaritas sosial masih tetep teguh. Fase kedua, pada fase ini ikatan solidaritas sosial agak longgar, namun mereka mampu mengupayakan untuk dapat memperkuat solidaritas ini. Fase ketiga, pada fase ini mereka telah kehilangan kekuatan solidaritas sosial, karena kemewahan yang telah merusak mereka, kehilangan rasa cinta dan lupa akan tingkatan hidup pengembaraan merek, sehingga mereka mampu dikalahkan.[29]

2. Keruntuhan Negara

Kehancuran akan menimpa negara apabila pondasi dasar dari kedaulatan telah runtuh. Keruntuhan itu ditandai dengan memudarnya solidaritas sosial yang dikibatkan oleh kehidupan yang mewah dan kehancuran yang datang melalui uang, yakni inflasi karena negara tidak membutuhkan banyak uang. Jadi, runtuhnya negara terjadi ketika kedaulatan berkembang dan mencapai puncak kemewahan dan kemakmuran (inflasi)

E. Kepala Negara

1. Gelar kepala

Gelar Amirul Mu'minin', sebagai ciri khilafah, Gelar itu merupakan kreasi periode para khalifah arrasyidun. Ketika Abu Bakar dibaiat, para sahabat dan seluruh kaum muslimin menyebutnya "Wakil (khalifah) Rasulullah." Panggilan demikian tetap digunakan hingga ia wafat.

Lalu, baiat diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan mereka pun memanggilnya "Wakil dari Wa­kil (khalifah Khalifati). Namun, mereka menyatakan bahwa gelar itu tidak praktis karena panjangnya. Di samping itu, dengan bertambahnya jumlah khalifah, gelar itu akan terus bertambah panjang hingga berakhir menjadi kata yang sulit untuk diucapkan. Akhirnya, gelar tersebut bisa saja kehilangan cirinya sehingga tidak lagi bisa dikenali. Oleh karena itu, mereka berusaha menggantikan gelar tersebut dengan gelar lain yang pantas bagi khalifah, yakni "Amirul Mukminin."

Kemudian golongan Syi'ah membuat nama khusus untuk Ali, yaitu Imam. Kata imamah berarti juga khilafah dan sebagai suatu propaganda mazhabnya yang mengatakan bahwa Ali lebih berhak menduduki imamah shalat daripada Abu Bakar. Ali adalah mazhab dan bida'ah mereka, sehingga mereka membuat gelar tersebut sebagai nama khusus hanya untuknya, dan untuk orang-orang yang menduduki jabatan khilafah sesudahnya. Mereka me­nyebut semua khalifah dengan nama imam.[30]

2. Jabatan Structural Dalam Kenegaraan

Seorang raja itu akan lemah dan memikul beban yang berat, apabila ia tidak dibantu oleh para pengikutnya untuk itu sebuah kekerajaan kekhalifahan akan membutuhkan beberapa jabatan struktural untuk membantu kepemimpinan politiknya. Diantara jabatan struktural itu adalah wizarah (wazir), departemen keuangan dan perpajakan, depertemen surat menyuyrat (sekretariatan negara), polisi, departeman angkatan laut

Disamping itu, dibutuhkan jabatan kegamaan khalifah karena pada hakikatnya menjadi khalifah berarti bertindak sebagai pengganti pembawa syari'at (Muhammad), dengan tugas mengurusi agama dan kepemimpinan duniawi. Pembawa syari'at bertindak menjalankan kedua tugas tersebut.[31] Jabatan keagamaan khalifah memilliki

Fungsi religius syari'at agama, seperti imamah shalat jabatan mufti, jabatan hakim, jihad (perang suci), dan penga-pasar (hisbah), termasuk ke dalam "imamah besar" yaitu khilafah.

F. Kepemimpinan

Kepemimpinan ada karena adanya kekuasaan, dan kekuasaan ada karena adanya solidaritas sosial. Maka didalam memimipin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada diatas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sang pemimpin, mereka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.[32] Kepemimpinan yang dapat diterapkan kepada orang-orang yang memiliki solidaritas sosial tidak dapat diterapkan kepada mereka yang bukan satu keturunan.

Memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan, maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin itu harus lebih kuat dari solidaritas sosial lain yang ada, sehingga ia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna.

G. Khalifah

Hukum itu dibikin oleh para terkemuka, bijaksana dan orang-orang cerdik pandai bangsa itu, maka pemerintahan itu dikatakan berdasarkan akal; tetapi apabila hukum-hukum itu ditentukan oleh Allah dengan perantara seorang rasul, maka pemerintahan itu disebut berdasarkan agama. Dan pemerintahan agama itu berguna sekali, baik untuk hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat. [33]

Oleh karena itu, adalah menjadi keharusan karena sifat hukum-hukum agama itu sendiri, supaya manusia menyesuaikan diri dengan hukum-hukum agama dalam segala baik yang berhubungan dengan dunia ini, maupun dengan hidup kemudian. Dan kekuasaan ini adalah kepunyaan Pembuat Undang Undang, ialah para Nabi dan orang-orang yang menggantikan mereka, yaitu Khalifah-khalifah, dan inilah arti Khilafah (kekhalifafan)[34]

Jabatan kekhalifahan merupakan jabatan pengganti nabi muhammad, dengan tugas yang sama: mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan di dunia. Lembaga kekhalifahan atau imamah orang yang menjalankan tugas ini disebut khalifah atau imamah. Belakangan orang-orang lalu mnenyebutnya “sultan” ketika rakyat mengikat baiat kepada satu orang yang berkuasa.

Sebutan khalifah masih dipersengketakan antara “khalifah Allah” dengan “khalifah rasulullah” dimana khalifah Allah masih dipertentangkan manusia bukan pengganti rasulullah, seperti apa yang telah dilakukan Abu bakar dimana ia menolak disebut khalifah Allah, tetapi menerima disebut khalifah rasulullah.[35]

H. Imamah menurut mazhab syi’ah

Syi'ah menurut bahasa berarti sahabat dan pengikut. Para fuqaha dan mutakallimin, baik khalaf maupun salaf, mengartikan syi'ah sebagai pengikut Ali dan putra-putranya. Semua mazhab mereka sepakat menyatakan bahwa imamah bukan termasuk kepentingan umum yang segala persoalannya diserahkan kepada pendapat umat, dan yang pelak-sananya dipilih atas kehendak mereka.

Mereka menyatakan bahwa imamah merupakan salah satu rukun agama dan tiang Islam, dan seorang nabi tidak boleh meremehkannya dan tidak pula menye-rahkan pengurusannya kepada umat. Seorang nabi wajib menetapkan imam yang akan menjadi pemimpin mereka. Nabi itu haruslah terbebaskan (ma'shum) dari dosa besar dan kecil. Mereka juga menyatakan bahwa Ali telah ditunjuk sebagai imam oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan hadits yang mere­ka cuplik dan mereka pergunakan sesuai dengan kecenderungan mazhab mereka.[36]

Kemudian, golongan-golongan Syiah berbeda pendapat me­ngenai siapa yang harus diangkat menjadi khalifah sesudah Ali wafat.

  1. Sebagian mereka mengatakan bahwa khilafah harus diserahkan kepada putra-putra Fatimah secara tetap satu demi satu bergantian. Mereka disebut golongan Imamiyyah.
  2. Sebagian lagi mengatakan bahwa khilafah diserahkan kepada putra-putra Fatimah, tapi berdasar pertimbangan para pemuka agama (syeikh). Mereka adalah go­longan az-Zaidiyyah, dinisbahkan kepada pemimpinnya, Zaid ibn Ali ibn al-Husain,
  3. Sebagian lagi menyatakan bahwa setelah Ali dan kedua puteranya, khilafah diserahkan kepada saudara dari kedua putra Ali, yaitu Muhammad ibn al-Ha-nafiyyah, lalu kepada putra-putranya. Mereka adalah golongan al-Kayasaniyyah.[37]

Di dalam golongan-golongan itu sendiri banyak terjadi perbedaan pendapat (mengenai imamah). Secara singkat kami sebut-kan sebagai berikut:

  1. Di antaranya ada golongan fanatik. Mereka bebas berpikir melampaui batas akal dan ketentuan keimanan. Mereka menjadi-kanTuhan menuhankan pemimpin-pemimpin terkemuka, baik de­ngan menyatakan bahwa mereka adalah manusia adalah manusia yang menyandang sifat-sifat Tuhan, atau dengan menyatakan bah­wa Tuhan melengket pada substansi (dzat) kemanusiaannya. Hal ini merupakan paham hulul (inkarnasi), seperti pendapat umat Nasrani terhadap Nabi isa.
  2. Ada lagi yang berpendapat bahwa kesempurnaan Imam tidak ada tandingannya, tak dimiliki siapapun. Apabila wafat, rul nya berpindah ke imam lain agar kesempurnaan itu berpindah pull kepadanya. Pendapat demikian adalah paham tanasukh
  3. Ada lagi dari kalangan al-Waqifiyyah (Syiah fanatik) yang mengatakan bahwa (Ali) belum mati, tapi tak menampakkan diri kepada penglihatan orang. Golongan Imamiyyah, khususnya golongan al-ltsna 'Asyariyyah juga berpendapat demikian.

Kiranya, kami cukupkan keterangan mengenai golongan fanatik Syiah. Kami tegaskan bahwa ulama-ulama terkemuka dari mazhab Syiah tidak pernah berpendapat demikian. Mereka menolak semua argumentasi golongan fanatik tersebut.

1) Golongan al-Kayasaniyyah menyerahkan imamah kepada putranya Abu Ha syim. Golongan ini lalu disebut al-Hasyimiyyah. Golongan ini kemudian pecah.

2) Golongan az-Zaidiyyah menggiring imamah sesuai dengarn pendapat mazhab. Imamah ditentukan oleh ahl hilliwa al-'aqd (para eksekutif), bukan berdasar teks. Mereka mengakui imamah Ali, kemudian beruntun imamah putranya al-Hasan, lalu saudara-i nya al-Husain, dan kemudian putranya Zaid ibn Ali, pendiri mazhab (az-Zaidiyyah).

3) Sedangkan golongan al-lmamiyyah menuntut imamah dari Ali ibn Abi Thalib kepada putranya Hasan melalui wasiat, kemudian beruntun kepada saudaranya Husain, lalu kepada putranya Ali Zain al-'Abidin, kepada putranya Muhammad al-Baqir, lalu kepada putranya Ja'far as Shadiq.

Dari sini golongan tersebut pecah dua :

a) golongan yang melanjutkan imamah kepada putranya Isrnail, yang mereka anggap sebagai imam. Mereka adalah golongan al-lsma'iliyyah;

b) golongan yang melanjutkan imamah kepada pu­tranya Musa al-Kadzim. Mereka adalah golongan al-ltsna 'Asy-riyyah, karena mereka berada pada urutan keduabelas para pemuka Syiah, dan anggapan mereka bahwa Musa menghilang hingga akhir zaman .....[38]

I. BAIAT

Baiat secara bahasa ba’a yaitu “menjual (atau membeli)”bai’yah adalah jabatan tangan, menurut arti terminologi linguistik yang biasa berlaku, dan menggunakan kata yang diterima syariat. Dan pengertian demikian yang dimaksud dari hadits mengenai baiah Nabi di malam al-'Aqabah, dan di bawah pohon, serta di mana pun kata ini disebutkan. Di antaranya adalah Baiat 'l-Khulafa' dan Ayman '/-Bay'ah. Para khalifah mengadakan suatu perjanjian dan mereka mengerahkan seluruh sumpah untuk itu. Pengerahan demikian disebut ayman 'l-bay'ah.

Ketahuilah bahwa baiah (janji setia) merupakan kontrak dan perjanjian taat. Janji setia yang umum berlaku pada masa sekarang ini adalah kebiasaan orang-orang Persia di dalam menyambut raja-raja dengan mencium bumi, tangan, kaki, atau ujung kelima baju (raja-raja itu).

Istilah baiah, dengan arti kontrak janji untuk ta'at, secara metaforik (majazi) telah dipergunakan untuk menunjukkan hal ini, selama bentuk yang hina dari penyambutan dan kesopansantunan merupakan salah satu konsekuensinya dan kesesuaian dari kepatuhan. Prakteknya meluas sehingga menjadi kebiasaan, dan menggantikan jabat tangan yang dipakai pertama kali, sebab berjabatan tangan dengan setiap orang berarti tindakan merendahkan diri dari se­orang raja dan membuat ia tidak berharga, hal-hal yang merusak kepemimpinan dan martabat jabatan raja. Namun, jabat tangan masih dipraktekkan oleh sejumlah raja yang ingin menunjukkan ke rendahan hati, dan yang, oleh karenanya, mau berjabatan tangan dengan orang-orang terhormat dari kalangan rakyatnya, dan de­ngan para pemuka agama yang terkenal dalam disiplin ilmu masing-masing.[39]

PENUTUP

Ibnu khaldun ialah salah satu pemikir islam yang cemerlang, ia tidak hanya membuktikan dirinya pada tataran teoritis saja, tapi ia juga berkecimpung dalam tataran politik praktis. Dari pengalaman politik nya ini, ia memperoleh pengetahuan yang cukup luas baik itu sebagai seorang diplomat maupun sebagai seorang perdana mentri atau sekretaris.

Dalam tatanan paraktis, ia banyak terlibat dengan intirk-intrik politik ketika itu. Hidupnya tidak hanya di habisakan dalam intrik politik ini, tapi dihabiskan di dunia intelektual. Sehingga, keputasanya untuk berhenti dalam politik praktis telah membuka jalan baginya untuk menuliskan sebuah karya besar yakni Muqaddimah.

Dalam muqaddimah ini, khaldun membuktikan bahwa ia seorany pemikir yang memiliki pengetahuan yang luas. Tidak hanya itu, ia juga kritis terhadap para sejarawan sebelum, karena sikap kritis inilah salah satu yang melatarbelakangi ia menulis muqaddimah ini, disamping latar belakang sosio-politik.

Karyanya ini tidak hanya mendapat perhatian di dunia timur, tapi juga mendapat respon yang positif di dunia barat. Namun, ditengah kekaguman para ilmuawan itu, ia pada dasarnya berharap karya nya ini dikirtis seperti yang ditulis dalam pengantar muqqadimahnya.



[1] Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam: Dari Abu Bakar hingga Nasr dan Qardhawi. (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 169.

[2] Ibid., h.169.

[3] Ahmad Syafii Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.11.

[4] Al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Penerjemah Rafi’i Utsman (Bandung: Pustaka, ), h.8.

[5] Ali Abd Wahid Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha. (Jakarta: PT Grafiti Press, 1985), h.47.

[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.838.

[7] Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.49.

[8] Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdulah Ali& Mariana Ariestyawati. (Jakarta: PT Serambi, 2006), h.307.

[9] Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.77.

[10] Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun. (Yogyakarta:Suluh Press, 2005), h.45-46.

[11] Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.81.

[12] Maarif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat Dan Timur, h.24-25.

[13] Khaldun, Muqaddimah, h.7.

[14] Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.82.

[15] Khaldun, Muqaddimah, h.12.

[16] Kitab pertama ini maksudnya adalah kitab pertama dari Al Ibar atau lebih dikenal dengan Muqaddimah.

[17] Khaldun, Muqaddimah, h.57.

[18]Wafi, Ibnu Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Penerjemah Akhmad Thoha, h.82.

[19] Khaldun, Muqaddimah, h.68.

[20] Khaldun, Muqaddimah, h.150.

[21] Khaldun, Muqaddimah, h.151.

[22] Khaldun, Muqaddimah, h.152.

[23] Khaldun, Muqaddimah, h.166.

[24] Khaldun, Muqaddimah, h.167.

[25] Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, h.320.

[26] Khaldun, Muqaddimah, h.67-68.

[27] Osman Naliby, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h.205.

[29] Khaldun, Muqaddimah, h.209.

  1. [30] Khaldun, Muqaddimah, h.276-277.

[31] Khaldun, Muqaddimah, h.264.

[32] Khaldun, Muqaddimah, h.157.

[33] Khaldun, Muqaddimah, h.233.

[34] Khaldun, Muqaddimah, h.234.

[35] Khaldun, Muqaddimah, h.235.


[36] Khaldun, Muqaddimah, h.243.

[37] Khaldun, Muqaddimah, h.245.

[38] Khaldun, Muqaddimah, h.245-247

[39] Khaldun, Muqaddimah, h.259.

Komentar