FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Pendahuluan


Salah satu upaya membina dan membangun generasi muda yang tangguh dan mumpuni diantaranya adalah melalui pendidikan, baik yang diberikan dalam lingkungan keluarga, melalui pendidikan formal di sekolah, maupun pendidikan dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus ditentukan oleh adanya pelaksanaan kurikulum sekolah itu. Keberhasilan sumber daya manusia dalam segi pendidikan sangat dipengaruhi oleh adanya pemahaman seluruh personal di sekolah itu dalam melaksanakan kurikulum.


Secara teoritis, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan atau kejuruan. (UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 1). Pada dasarnya kurikulum adalah suatu cara untuk mempersiapkan siswa agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya. Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mengenai sasaran penelitian dan pengembangan kurikulum adalah diperolehnya kompetensi lulusan yang sesuai dengan berbagai tuntutan pasar. KBK kemudian mendapat tanggapan, kritik dan saran dari pada praktisi serta masyarakat mengenai substansi isi kurikulum tersebut sehingga dikembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diharapkan menjadi lebih baik dan sesuai perkembangan ilmu dan teknologi serta sesuai dengan semangat desentralisasi. Seluruh komponen bangsa ikut memberikan dorongan bagi penyelenggara pendidikan untuk selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan.


Di dalam proses pengendalian mutu pendidikan, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.



B. Rumusan Masalah


Dari uraian latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis merumuskan permasalahan pada faktor-faktor apakah yang mempengaruhi upaya pengembangan kurikulum?



C. Pembahasan


1. Kurikulum


Kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Menurut Hamalik (1995:18) dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Ahli kurikulum Hilda Taba sebagaimana dikutip oleh Nasution (2001:7) berpendapat bahwa “pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakat”. Tiap kurikulum, bagaimanapun polanya, selalu mempunyai komponen-komponen tertentu, yakni pernyataan tentang tujuan dan sasaran, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar. Perbedaan kurikulum terletak pada penekanan pada unsur-unsur tertentu.


Kunikulum yang dibutuhkan di masa yang akan datang yaitu kunikulum yang berbasis kompetensi. Kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu (Mulyasa, 2002:39).


Pada perkembangan selanjutnya, diberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidika (KTSP) yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Sekolah diberi keleluasaan merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang dapat dimunculkan oleh sekolah. Sekolah dapat mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan (Abd. Halim Fathan, 2007: 2).



2. Pengembangan Kurikulum


Perubahan kurikulum, dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikan di depan kelas. Mekanisme pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai berikut. Tahap pertama penguasaan manajemen pengembangan kurikulum. Seorang guru yang akan mengembangkan kurikulum dituntut menguasai manajemen pengembangan kurikulum. Dalam mengembangkan kurikulum, setidaknya guru akan menemui delapan problem. Pertama, bagaimana membatasi ruang lingkup atau keluasan materi. Kedua, bagaimana mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketiga, bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar, keseimbangan antara tuntutan pembangunan daerah dan nasional. Keempat, bagaimana mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi. Kelima, bagaimana mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan. Keenam, bagaimana agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang. Ketujuh, bagaimana merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh. Terakhir, bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan alias memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.


KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada standar isi (SI) dan standar kompetensi lokal (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.



3. Prinsip Pengembangan Kurikulum


Prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan (Abd. Halim Fathan, 2007: 2).


Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP. Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.


Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.


Penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL. Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.



4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum


Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses maupun kirikulum sebagai hasil. Oleh karena itu, keragaman tersebut harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum. Pengembangan kurikulum di Indonesia harus didasarkan pada faktor-faktor keragaman sosial budaya secara nasional, lingkungan unit pendidikan, dan kebudayaan daerah.


a. Keragaman sosial budaya nasional menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi;


Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan
filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.


Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum.


Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.


Posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan (Waring, 1982). Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.


Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi sebagai konten kurikulum. Konten kurikulum haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural-besed, dan open to problems yang hidup dalam masyarakat. Konten kurikulum haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang tidak berkaitan dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial yang hidup dan berkembang di masyarakat. Selanjutnya, konten kurikulum harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik. Selain agama, kesusateraan, bahasa, olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang pengembangan kemanusiaan siswa.



b. Lingkungan unit pendidikan yaitu guru, sumber belajar dan objek belajar yang merupakan bagian dari kegiatan belajar siswa;


Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana pelajaran/satuan pelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip multikultural kurikulum. Sosialisasi yang dilakukan haruslah dilakukan orang-orang yang terlibat paling tidak dalam proses pengembangan kurikulum sebagai dokumen apabila orang yang terlibat dalam pengembangan ide tidak mungkin secara teknis. Jika terjadi perluasan tim sosialisasi maka anggota tim yang baru haruslah yang sepenuhnya faham dengan karakteristik kurikulum multikultural. Pada fase ini, target utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk mengembangkan kurikulum multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya).


Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Betapa pun sempurna sebuah kurikulum, bila potensi dan motivasi guru dan siswa tidak memadai maka proses pembelajaran tidak akan terjadi secara optimal. Sebaliknya, bila guru dan murid mempunyai komitmen tinggi untuk melakukan kegiatan pembelajaran yang sebaik-baiknya, dengan kurikulum yang seadanya pun hasil pembelajaran siswa akan diperoleh secara maksimal.



c. Kebutuhan daerah


Berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut memberikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang kurikulum di daerah.


Kurikulum sebagai ide harus dikembangkan pada tingkat nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di daerah. Seperti dalam alternatif di atas, proses sosialisasi ide yang telah ditetapkan perlu dilakukan. Dengan demikian keputusan tentang jenis informasi, bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum (tujuan, konten, proses belajar, dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula. Tentu saja dengan pendekatan multikultural tingkat rincian tersebut tetap harus memperhitungkan keragaman kebudayaan di wilayah tersebut yang menjadi lingkungan eksternal sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu pengembangan materi ajar dalam kurikulum harus bisa dilebarkan sesuai kebutuhan daerah.



D. Kesimpulan


Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum adalah:


1. Keragaman sosial budaya nasional menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi.


Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten kurikulum. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, dan adat/tradisi harus dapat diakomodasi dalam kurikulum. Selanjutnya kurikulum harus dapat menunjang tujuan kurikulum dalam mengembangkan kualitas kemanusiaan peserta didik. Selain agama, kesusateraan, bahasa, olahraga, dan kesenian merupakan konten yang dapat menunjang pengembangan kemanusiaan siswa.


2. Lingkungan unit pendidikan yaitu guru, sumber belajar dan objek belajar yang merupakan bagian dari kegiatan belajar siswa.


Pengembangan kurikulum sebagai proses terjadi pada unit pendidikan atau sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan kurikulum dalam bentuk rencana pelajaran/satuan pelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi yang sesuai. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan, misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan.


3. Kebutuhan daerah.


Kurikulum sebagai ide harus dikembangkan pada tingkat nasional sedangkan kurikulum dalam bentuk dokumen dapat dikembangkan di daerah. Keputusan tentang jenis informasi, bentuk format GBPP, dan komponen kurikulum (tujuan, materi, proses belajar, dan evaluasi) ditentukan pada tingkat daerah pula.







DAFTAR PUSTAKA




Hamid Hasan, 2007, Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung



Mulyasa, Encang. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Remaja Rosda Karya: Bandung.



Mulyasa, Encang. 2006. Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan. Remaja Rosda Karya: Bandung.



Surjanto Budiwalujo, 2006, Mengembangkan Kurikulum Visioner, www.hamline.basisdata.com



Yamin, Martinis, 2005. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Gaung Persada: Jakarta.



Pusat Kurikulum, 2001, Kebijaksanaan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departement Pendidikan Nasional, Jakarta.

Komentar